Rugi Bila Tak Puasa
Salah satu jenis ibadah yang: umum, sangat tua, dan semua agama memerintahkannya adalah puasa. Jenis ibadah ini lebih universal, meskipun cara pelaksanaanya berbeda-beda. Dalam sejarah, puasa sudah dilaksanakan oleh bangsa Mesir kuno, Yunani, dan Romawi. Puasa merupakan ajaran semua agama, baik yang samawi seperti Yahudi dan Nasrani maupun yang thabi'i (kultur), seperti Hindu dan Budha. Perbedaannya terletak pada motivasi pelaksanannya (niatnya), penyebabnya, serta cara pelaksanaanya.
Umumnya, orang berpuasa pada saat menghadapi berbagai kesulitan hidup, ketika berduka cita, atau sedang mengalami musibah. Orang berpuasa untuk menandai masa-masa berkabung. Di kalangan penyembah berhala, orang berpuasa karena didorong oleh keinginan untuk menghilangkan kemarahan tuhan, karena mereka telah banyak melakukan pelanggaran. Melalui puasa mereka mengaharapkan kerelaan tuhan untuk kemudian memeberikan pertolongan. Sampai saat ini masih banyak orang yang melaksakan puasa karena motivasi seperti ini.
Karena puasa ini merupakan ibadah yang universal, artinya semua agama mengajarkannya, maka banyak orang Islam yang ketika bulan Ramadan tiba sangat antusias menjalankan puasa walaupun dalam kesehariannya mereka tidak menjalankan salat. Bagi mereka puasa itu mempunyai arti yang lebih dari sekadar ibadah puasa.
Pemaknaan puasa seperti di atas boleh-boleh saja, asal tidak sampai tercampur dengan motivasi-motivasi lain, yang sumbernya berasal dari ajaran agama lain (atau mistisisme). Pemahaman semacam itu masih besar dalam diri umat Islam Indonesia (serta mungkin umat Islam negara lainnya, khususnya di kawasan Asia). Tugas para dai adalah meluruskan dan memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh agama lain (kepercayaan lain), yang sesat dan menyesatkan.
Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa atau shiyâm tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah. Dalam pandangan Islam, derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa. Allah menegaskan dalam firmannya: "sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa" (QS. al-Hujurat:13). Siapa pun dapat mencapai derajat ini tanpa memandang status sosial.
Takwa inilah yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadan. Inilah motivasi dasar dari segala bentuk ritual Ramadan. Kaum muslimin hendaknya mempunyai tujuan yang sama , untuk bersama-sama menjalankan ibadah (puasa) agar mencapai puncak rohaniah yang tertinggi dan termulia di sisi Allah swt. Untuk apa menjadi presiden jika hanya mengantarkan kita lebih cepat meluncur ke neraka? Untuk apa menjadi pejabat jika mempermudah kita berlumur dosa? Untuk apa menjadi konglomerat jika hanya akan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat?.
Ramadan kali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba mencapai tingkatan takwa. Kita mengalami defisit takwa. Orang yang bertakwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang jahat, kotor, dan tak bermoral.
Seandainya negara seperti Indonesia ini dipenuhi orang-orang yang bertakwa, krisis yang melanda tentu akan mudah teratasi. Kenapa demikian? Orang yang bertakwa akan selalu dibimbing Allah, diberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga mereka akan mampu memecahkan setiap permasalahan. Allah berjanji, Allah akan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Jatsiyah: 19).
Jika Allah sudah menjadi pembimbing kita, tentu dia menunjuki kita ke jalan yang terang benderang. Allah pasti akan menuntun kita agar kaki kita tidak terperosok ke dalam lubang krisis yang sulit dilepaskan. Jika Allah membiarkan kita berjalan sendiri, bisa jadi kita lepas dari mulut singa tapi masuk ke mulut buaya. Sama saja.
Stok insan yang bertakwa saat ini tengah berkurang. Kita sedang kekurangan orang-orang yang dibimbing jalannya oleh Allah swt. Sebenarnya sudah lama kita mengidam-idamkan generasi muttaqin (yang bertakwa), tapi betul bahwa takwa sudah lama menjadi idaman, bahkan menjadi program. Harapan kita, pendidikan akhlak dan moral, termasuk ketakwaan kepada Allah swt, biarlah dikembalikan kepada yang bertanggung jawab, yaitu lembaga agama.
Jika benar-benar lahir generasi takwa di dunia ini, niscaya secara alami seluruh persoalan dunia dapat diatasi. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bertakwa? Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (QS. ali-Imran: 76). Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, tentu Dia tidak rela hamba-Nya terus menerus berada dalam kesulitan. Allah pasti akan mengangkatnya dari "lumpur yang kotor" itu, kemudian memberi tempat yang terpuji dan mulia.
Jika kita lebih teliti lagi membaca Al Qur'an, ternyata Allah swt tidak hanya sekedar cinta, tapi selalu bersama-sama orang yang bertakwa. Ini janji yang luar biasa. Sekedar dikawal tentara yang bersenjata saja kita sudah merasa aman, apalagi jika kita dikawal Allah. Sekedar ditemani orang yang kita cintai saja sudah merasa tentram, apalagi ditemani Allah yang berfirman sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 194).
Dengan janji-janji di atas, pantas jika kemudian Allah mengangkat orang yang bertakwa ke derajat yang paling mulia. Sebab mereka pastilah generasi yang menang , bukan yang menang-menangan. Artinya kemenangan yang mereka raih bukan sekedar untuk dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tapi kemenangan yang sejati, kemenangan untuk semua. Dalam menyelesaikan masalah, mereka berprinsip win-win, menang sama menang, bukan kalah sama kalah.
Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A'raf: 128). Sekarang tinggal kita, percaya atau tidak terhadap janji Allah, pasti ditepati. Dunia ini akan menjadi jaya, jika segenap penduduknya bertakwa. Ini suatu aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Allah berfirman: "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" ( QS. al-A'raf 96).
Ada satu jalan suci yang dapat diraih oleh seluruh umat manusia untuk meraih segala kemuliaan itu, meraih ketakwaan dengan seluruh nafasnya. Jalan suci itu adalah berpuasa, khususnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Di sana lah menunggu janji-jani Allah kepada kemuliaan dunia beserta isinya. Maka, rugilah bila kita tidak berpuasa. (S. Rusmin)
Umumnya, orang berpuasa pada saat menghadapi berbagai kesulitan hidup, ketika berduka cita, atau sedang mengalami musibah. Orang berpuasa untuk menandai masa-masa berkabung. Di kalangan penyembah berhala, orang berpuasa karena didorong oleh keinginan untuk menghilangkan kemarahan tuhan, karena mereka telah banyak melakukan pelanggaran. Melalui puasa mereka mengaharapkan kerelaan tuhan untuk kemudian memeberikan pertolongan. Sampai saat ini masih banyak orang yang melaksakan puasa karena motivasi seperti ini.
Karena puasa ini merupakan ibadah yang universal, artinya semua agama mengajarkannya, maka banyak orang Islam yang ketika bulan Ramadan tiba sangat antusias menjalankan puasa walaupun dalam kesehariannya mereka tidak menjalankan salat. Bagi mereka puasa itu mempunyai arti yang lebih dari sekadar ibadah puasa.
Pemaknaan puasa seperti di atas boleh-boleh saja, asal tidak sampai tercampur dengan motivasi-motivasi lain, yang sumbernya berasal dari ajaran agama lain (atau mistisisme). Pemahaman semacam itu masih besar dalam diri umat Islam Indonesia (serta mungkin umat Islam negara lainnya, khususnya di kawasan Asia). Tugas para dai adalah meluruskan dan memurnikan ajaran Islam dari segala pengaruh agama lain (kepercayaan lain), yang sesat dan menyesatkan.
Dalam konteks syariat Islam, motivasi puasa atau shiyâm tidak lain kecuali untuk meninggikan derajat manusia ke puncak kehidupan ruhaniyah yang tinggi dan mulia dalam pandangan Allah. Dalam pandangan Islam, derajat tertinggi manusia adalah yang bertakwa. Allah menegaskan dalam firmannya: "sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa" (QS. al-Hujurat:13). Siapa pun dapat mencapai derajat ini tanpa memandang status sosial.
Takwa inilah yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa Ramadan. Inilah motivasi dasar dari segala bentuk ritual Ramadan. Kaum muslimin hendaknya mempunyai tujuan yang sama , untuk bersama-sama menjalankan ibadah (puasa) agar mencapai puncak rohaniah yang tertinggi dan termulia di sisi Allah swt. Untuk apa menjadi presiden jika hanya mengantarkan kita lebih cepat meluncur ke neraka? Untuk apa menjadi pejabat jika mempermudah kita berlumur dosa? Untuk apa menjadi konglomerat jika hanya akan menyengsarakan kehidupan kita di dunia dan akhirat?.
Ramadan kali ini adalah kesempatan bagi kita untuk berlomba-lomba mencapai tingkatan takwa. Kita mengalami defisit takwa. Orang yang bertakwa jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang jahat, kotor, dan tak bermoral.
Seandainya negara seperti Indonesia ini dipenuhi orang-orang yang bertakwa, krisis yang melanda tentu akan mudah teratasi. Kenapa demikian? Orang yang bertakwa akan selalu dibimbing Allah, diberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga mereka akan mampu memecahkan setiap permasalahan. Allah berjanji, Allah akan menjadi pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa (QS. al-Jatsiyah: 19).
Jika Allah sudah menjadi pembimbing kita, tentu dia menunjuki kita ke jalan yang terang benderang. Allah pasti akan menuntun kita agar kaki kita tidak terperosok ke dalam lubang krisis yang sulit dilepaskan. Jika Allah membiarkan kita berjalan sendiri, bisa jadi kita lepas dari mulut singa tapi masuk ke mulut buaya. Sama saja.
Stok insan yang bertakwa saat ini tengah berkurang. Kita sedang kekurangan orang-orang yang dibimbing jalannya oleh Allah swt. Sebenarnya sudah lama kita mengidam-idamkan generasi muttaqin (yang bertakwa), tapi betul bahwa takwa sudah lama menjadi idaman, bahkan menjadi program. Harapan kita, pendidikan akhlak dan moral, termasuk ketakwaan kepada Allah swt, biarlah dikembalikan kepada yang bertanggung jawab, yaitu lembaga agama.
Jika benar-benar lahir generasi takwa di dunia ini, niscaya secara alami seluruh persoalan dunia dapat diatasi. Bukankah Allah mencintai hambanya yang bertakwa? Allah berfirman : "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa" (QS. ali-Imran: 76). Jika Allah sudah mencintai hamba-Nya, tentu Dia tidak rela hamba-Nya terus menerus berada dalam kesulitan. Allah pasti akan mengangkatnya dari "lumpur yang kotor" itu, kemudian memberi tempat yang terpuji dan mulia.
Jika kita lebih teliti lagi membaca Al Qur'an, ternyata Allah swt tidak hanya sekedar cinta, tapi selalu bersama-sama orang yang bertakwa. Ini janji yang luar biasa. Sekedar dikawal tentara yang bersenjata saja kita sudah merasa aman, apalagi jika kita dikawal Allah. Sekedar ditemani orang yang kita cintai saja sudah merasa tentram, apalagi ditemani Allah yang berfirman sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS. al-Baqarah: 194).
Dengan janji-janji di atas, pantas jika kemudian Allah mengangkat orang yang bertakwa ke derajat yang paling mulia. Sebab mereka pastilah generasi yang menang , bukan yang menang-menangan. Artinya kemenangan yang mereka raih bukan sekedar untuk dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tapi kemenangan yang sejati, kemenangan untuk semua. Dalam menyelesaikan masalah, mereka berprinsip win-win, menang sama menang, bukan kalah sama kalah.
Kepada mereka yang bertakwa, sekali lagi Allah menjanjikan "kesudahan yang baik (kemenangan) adalah untuk orang-orang yang bertakwa" (QS. al-A'raf: 128). Sekarang tinggal kita, percaya atau tidak terhadap janji Allah, pasti ditepati. Dunia ini akan menjadi jaya, jika segenap penduduknya bertakwa. Ini suatu aksioma yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Allah berfirman: "Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" ( QS. al-A'raf 96).
Ada satu jalan suci yang dapat diraih oleh seluruh umat manusia untuk meraih segala kemuliaan itu, meraih ketakwaan dengan seluruh nafasnya. Jalan suci itu adalah berpuasa, khususnya berpuasa di bulan suci Ramadan. Di sana lah menunggu janji-jani Allah kepada kemuliaan dunia beserta isinya. Maka, rugilah bila kita tidak berpuasa. (S. Rusmin)
MENYAMBUT DATANGNYA BULAN RAMADHAN
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang banyak menganugerahkan rahmat di bulan suci Ramadhan sebagai bulan yang paling mulia dari bulan-bulan yang lain. Salawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW beserta keluarga dan segenap sahabatnya serta seluruh kaum Muslimin yang mengikutinya. Amma ba'du.
Wahai kaum Muslimin, bertakwalah kepada Allah, mohon taufik kepada-Nya, agar bisa mencapai cita-cita baik dan ampunan dari segala dosa.
Wahai hamba Allah, sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan. Bulan Ramadhan bagaikan untaian kalung berlian yang menghias leher setiap bulan. Sebab pada bulan itu, Allah memberi keberkahan dan maghfirah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam bulan itu Malaikat turun untuk ikut memanjatkan doa dan pujian agar mereka beroleh ampunan dan keridhaan-Nya.
Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya puasa di bulan Ramadhan wajib hukumnya berdasarkan nash Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Rasulullah SAW menganjurkan agar berpuasa di bulan ini dan melakukan qiyamulail (menegakkan shalat pada malam hari untuk beribadah, pen). Beliau menjelaskan apa yang harus dilakukan pada bulan ini, apa yang disunahkan dan apa yang diharamkan berdasarkan petunjuk Allah SWT. Sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang agung dan penuh keberkatan. Pada bulan ini semua pintu kebaikan dibuka lebar-lebar. Orang-orang yang senang memperoleh kebaikan, dapat memperoleh kebaikan dunia, kenikmatan akhirat dan keberkatan Ramadhan. Nama mereka terdaftar dalam buku orang-orang yang diberkati, yakni orang yang mendapatkan ridha dan ampunan-Nya. Karenanya, mereka tidak pernah merasa khawatir atau susah.
Wahai hamba Allah, sesungguhnya Islam telah menganjurkan kaum Muslimin semua untuk berlomba meraih kebaikan di setiap waktu, khususnya di bulan Ramadhan. Karenanya, memberikan kasih sayang, keadilan, santunan dan persaudaraan sangat dianjurkan oleh syari'at. Pada bulan itu semua amal dilipat gandakan pahalanya melebihi bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, hawai kaum Muslimin, berlomba-lombalah sekuat tenaga untuk melakukan kebajikan, karena sesungguhnya Allah SWT sangat menyintai orang-orang yang penuh rasa kasih sayang di antara hamba-hamba-Nya. Yakni, mereka yang berlomba melakukan amal kebaikan karena mengharap pahala dan ridha dari sisi-Nya.
Sesungguhnya, bulan Ramadhan mengingatkan perhatian kita kepada saudara-saudara yang miskin, mendidik kita agar ikut merasakan dan menghayati apa yang dirasakan oleh kaum lemah. Yakni, mereka yang tidak memiliki harta benda untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Kaum Muslimin yang bebahagia, jadilah kalian orang yang gemar melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan bersedekah, semoga Allah mengganti apa yang kalian infakkan berupa kebajikan. Orang yang berpuasa, ketika merasa lapar dan dahaga, akan terasa olehnya betapa berat penderitaan yang dirasakan oleh kaum fakir miskin sepanjang siang danmalam hari dalam kelparan dan kekurangan. Dengan demikian, tumbuhlah rasa kasih sayangnya kepada mereka, sehingga terbentuklah suatu masyarakat yang tumbuh di dalamnya rasa kasih sayang aantar sesama, saling menyintai dan penuh kasih keakraban.
Sesungguhnya, dalam puasa Ramadhan itu terkandung etika, akhlak dan faedah yang membuat manusia senantiasa ingin melakukan kebaikan dan berpegangan pada akhlak para Nabi. Seseorang yang sedang berpuasa diharuskan berpegangan pada akhlak luhur danpekerti mulia semampu mungkin untuk itu, ia dituntut agar memelihara dirinya dari semua perbuatan hina dan rendah.
Wahai hamba Allah, ketahuilah baha sesungguhnya puasa itu bukan sekadar menahan diri dari makan danminum. Tetapi, puasa merupakan salah satu syi'ar syari'at Islam yang dalam pengamalannya menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada perintah-perintah-Nya dan merupakanpertanda kebaikan tingkah laku seorang hamba serta tanggung jawabnya dalam memelihara perintah-perintah syari'at yang mulia. Allah SWT telah berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
(Q. S. Al-Baqarah: 183).
Saudara-saudaraku....
Dari pemaparan singkat di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan mulia yang didalamnya terdapat penuh berkah, oleh karena itu sangatlah beruntung bagi orang-orang yang mengimaninya dan berlomba-lomba memperpbanyak ibadah dan kebaikan-kebaikan lainya.
Allah SWT telah mewajibkan kebada orang-orang yang beriman (yang telah memenuhi syarat) untuk berpuasa di bulan suci itu, maka marilah kita bersama menyambut datangnya bulan penuh berkah ini, semoga amalan-amalan kebaikan dan ibadah kita diterima oleh Allah SWT serta diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, amin!
Semoga ada manfaatnya bagi kita semua.
Wassalamu alaikum wr. Wb. (S.Rusmin)
MAKNA DAN FILOSOFI IBADAH PUASA
Sudah banyak pakar membahas hikmah dan filosofi ibadah puasa. Ada yang mengaitkan puasa dengan teori-teori kedokteran, seperti dilakukan Muhammad Farid Wajdi, salah seorang murid Shekh Muhammad Abduh. Ada pula yang mengaitkannya dengan kepedulian sosial dan rasa kesetiakawanan, serta tidak sedikit pula yang mengaitkan puasa dengan pendidikan kepribadian. Berbagai hikmah yang dikemukan para pakar di atas, tentu saja memiliki alasan-alasan dan logikanya sendiri.
Dalam Alquran, menurut penyelidikan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz Alquran , kata puasa ( al-shaum ) terulang sebanyak 14 kali dalam berbagai bentuknya. Khusus mengenai puasa Ramadhan, dapat dilihat keterangannya secara beruntun dalam surah al-Baqarah ayat 183 s/d 167. Berdasarkan penyelidikannya yang mendalam terhadap ayat-ayat mengenai puasa di atas, Abdul Halim Mahmud, mantan Grand Syaikh al-Azhar, dalam bukunya Asrar al-'Ibadah (Rahasia Ibadah), mengemukakan tiga hikmah penting ibadah puasa.
Pertama, puasa diwajibkan sebagai sarana mempersiapkan individu Muslim menjadi orang takwa (Q. S. 2: 183). Karena tujuan utama puasa adalah takwa, maka menurut Abdul Halim Mahmud, setiap orang yang berpuasa harus mampu mengorganisir seluruh organ tubuhnya dan mengatur semua aktivitasnya ke arah tujuan yang hendak dicapai itu (takwa).
Kedua, puasa diwajibkan sebagai syukur nikmat. Allah SWT memerintahkan puasa setelah Ia menerangkan bahwa Ramadhan yang mulia itu adalah bulan yang di dalamnya petunjuk Allah yang amat sempurna diturunkan, yaitu Alquran (Q. S. 2: 185). Karena itu, turunnya wahyu itu patut disambut dan ''dirayakan''. Namun, perayaan ini haruslah dengan kegiatan yang sesuai. Dalam kaitan ini, penyambutan dan ''perayaan'' itu hanya patut dilakukan dengan mempersiapkan diri untuk bisa menerima petunjuk itu dengan cara yang paling baik, yaitu puasa.
Ketiga, puasa membuat pelakunya dekat dengan Tuhan dan semua permohonan dan doanya didengar dan dikabulkan. Inilah makna firman Allah: ''Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku'' (Q.S. 2.186).
Menyimak beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, nyatalah bahwa puasa merupakan sesuatu yang semestinya kita lakukan. Ia bukan semata kewajiban, melainkan suatu kebutuhan. Untuk itu, setiap muslim harus menyambut gembira datangnya Ramadhan ini dan melaksanakan ibadah puasa dengan penuh suka cita. Dengan begitu, setiap kita mempunyai alasan moral untuk mendapat pengampunan Tuhan dan pembebasan dari siksa-Nya. ahi
Ramadhan memang bulan ibadah. Porsi ibadah biasanya akan bertambah. Tetapi Ramadhan juga bulan segala kegiatan dan kerja keras. Tak ada alasan buat umat Islam untuk berleha-leha di siang hari karena berpuasa. Kesibukan kerja di siang hari malah membuat hari terasa pendek. Kita perlu menengok ke dalam sejarah, melihat bagaimana kesibukan Rasulullah saw pada bulan-bulan ini.
Dalam melaksanakan ibadah Rasulullah lebih mengkhususkan diri pada bulan puasa, sehingga seolah ia tak lagi mengenal dunia, dengan memperbanyak ibadah: melakukan salat, membaca Alquran, zikir, bersedekah, dan pada malam kesepuluh terakhir beri'tikaf di masjid, dan menganjurkan kita memperbanyak ibadah.
Sungguh pun begitu tidak berarti Nabi lalu bersantai-santai dan melalaikan tugas-tugas duniawi. Justru peristiwa-peristiwa besar banyak terjadi pada bulan Ramadhan, seperti ditulis Ali Hasani al-Kharbutli, al-Rasul fi Ramadhan. Juga dalam buku-buku sejarah, tafsir, dan hadis, dapat kita baca betapa sibuknya Rasulullah.
Bagi Rasulullah bulan puasa adalah bulan jihad, bulan perjuangan. Sejak tahun pertama Hijri dalam bulan puasa beberapa ekspedisi militer dikerahkan untuk menghadapi musuh, kaum musyrik Mekah yang selalu datang mengganggu dengan serangan kecil-kecilan pada mulanya, dan kemudian sampai di puncaknya pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijri dengan pecahnya perang Badr. Tetapi justru inilah kemenangan Islam yang pertama menghadapi kaum musyrik Quraisy, ''Allah telah menolong kamu di Badr ketika kamu dalam keadaan lemah. Maka bertakwalah kepada Allah, dengan demikian kamu bersyukur'' (Q. S. 3: 123).
Setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya, terjadi pula perang Uhud dan perang Parit, sedikit sebelum dan sesudah bulan puasa, sampai akhirnya pada Ramadhan tahun ke-8, Mekah sebagai markas besar musyrik Quraisy dapat dibebaskan, berhala-berhala dihancurkan dan tauhid ditegakkan. Dan pada Ramadhan tahun berikutnya Rasul kembali dari ekspedisi Tabuk dengan membawa kemenangan pula.
Itulah kemenangan-kemenangan Ramadhan yang terbesar, disusul dengan kedatangan utusan Banu Saqif dari Taif -- sebagai benteng terakhir kaum pagan yang paling keras -- ke Medinah, menyatakan pengakuan dan kesetiaan penduduk Taif kepada Rasulullah. Itulah jatuhnya benteng terakhir kaum penyembah berhala di jazirah Arab.
Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar seperti perang Badr dan pembebasan Mekah dalam bulan puasa itu adakalanya Rasulullah dan sahabat-sahabat terpaksa membatalkan puasa.
Dalam bulan ini pula banyak peristiwa besar lain terjadi. Muhammad menerima tugas dan diutus Allah sebagai rasul-Nya terjadi pada bulan Ramadhan, yang dengan sendirinya juga turunnya wahyu pertama. Ramadhan, bulan penuh kegiatan, bulan kemenangan rohani dan jasmani. ahi
Ada tiga unsur yang melengkapi diri kita sehingga kita dapat hidup sebagai pribadi. Ketiga unsur itu menentukan hidup dan kehidupan kita lebih lanjut. Ketiganya adalah hati, otak (akal), dan jasmani. Otak mampu menciptakan konsep-konsep atau keinginan-keinginan untuk mencapai sesuatu. Otak juga dapat menciptakan hal-hal yang baru sama sekali, seperti produk-produk iptek (barang-barng elektronik canggih, bahkan bom/peralatan nuklir). Sedangkan hati menyaring apa yang patut atau tidak patut dikerjakan. Kalau hati seseorang baik (bersih) tentu dapat memberi arah apa yang seyogianya otak ciptakan. Tetapi kalau hatinya tidak bersih (hitam), maka dapat saja otak tersebut bekerja semaunya, menciptakan apa saja yang tidak dikehendakinya, tidak peduli apakah baik atau tidak, apakah akan membinasakan atau menyelamatkan umat manusia. Jelas orang yang seperti ini berbahaya, karena dapat ia lakukan hal-hal seperti dikemukakan tadi. Yang pokok, keinginannya tercapai.
Sementara peran jasmani adalah melaksanakan apa yang telah dikehendaki oleh otak dan hati. Ia bekerja, kalau sudah ada perintah dari otak dan hati. Jasmani tidak berpikir, ia hanya bekerja setelah menerima petunjuk. Yang pokok, jasmani perlu dirawat dan dilatih agar senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga dapat berfungsi. Bahkan unsur jasmani ini turut menentukan, karena meskipun otak dan hati telah melahirkan suatu gagasan yang cukup ideal, namun tidak akan dapat direalisasikan apabila jasmani tidak berdaya.
Di sinilah betapa besar peran ibadah puasa dalam pembentukan pribadi. Perannya ialah berusaha menyehatkan ketiga unsur tadi sekaligus. Ia membersihkan hati melalui peningkatan ibadah (di samping berpuasa, juga salat, termasuk salat tarawih, dan berlatih diri menahan hawa nafsu yang cenderung ke perbuatan-perbuatan tercela) yang akhirnya berpengaruh pula pada cara berpikir. Orang yang beriman (bertakwa) dan yang bersih hatinya, biasanya pemikirannya pun jernih dan selalu berusaha menghindari perbuatan maksiat.
Sedangkan orang yang berpuasa, akan terawat (terpelihara) kesehatannya, karena sesuai dengan keterangan para dokter, puasa dapat menyembuhkan, setidak-tidaknya mengurangi penyakit tekanan darah tinggi, jantung, lambung, dan lain-lain. Jadi, puasa sekaligus berusaha menyehatkan rohani, pemikiran dan jasmani sehingga gagasan-gagasan yang diciptakan oleh orang yang berpuasa selalu jernih dan selalu pula memperhatikan kepentingan umat (orang banyak). Oleh karena itu, puasa sangat bermanfaat bagi para pemimpin.
Setiap kita tentu pernah berbuat salah, melakukan dosa. Tapi, tak banyak di antara kita yang mau sibuk mengkalkulasi kesalahan-kesalahannya itu. Padahal, introspeksi diri, yakni mencoba menghitung jumlah kealpaan yang pernah kita perbuat baik kepada Tuhan maupun kepada sesama, tidak kalah pentingnya dengan menjumlah kebaikan dan jasa yang kita lakukan. Introspeksi diri (tafakkur) itu, menurut ulama besar Mesir almarhum Abbas Mahmud al-Akkad, dalam agama hukumnya wajib. Rasulullah SAW sendiri berulangkali menekankan pentingnya bertafakkur sejenak yang, kata beliau, nilainya bisa melebihi ibadah setahun.
Lalu, bagaimanakah cara bertafakkur itu menurut agama? Para ulama menyatakan, dengan salat tahajud setelah lewat tengah malam. Sebelum salat tahajud, hendaknya didahului dengan salat taobat (tobat) dua rakaat. Setelah itu, barulah dimulai bertafakkur, bermuhasabah. Untuk bertafakkur atau bermuhasabah ini, Rasulullah juga terbiasa menggedor-gedor rumah Ali r.a. dan mengajaknya melakukan amalan sunat itu. Sedang tolok ukur untuk bermuhasabah itu, Nabi SAW menjelaskan: Barangsiapa kualitas hidupnya hari ini lebih baik dari kemarin, dialah orang yang beruntung. Barangsiapa kualitas hidupnya hari ini sama dengan kemarin, maka dia termasuk orang yang rugi. Dan barangsiapa kualitas hidupnya hari ini lebih buruk dari kemarin, maka terkutuklah dia.
Tidak bisa dibantah, bahwa dosa-dosa yang kita perbuat (kalau kita jujur mengkalkulasinya) pasti tidak sedikit. Dari yang (kelihatannya) remeh seperti berkata jorok, ngomongin orang lain, prasangka, bohong, pandangan buruk sampai yang lebih berat seperti ihwal kehalalan rezeki kita, manipulasi, saling menjatuhkan, dan lain-lain.
Menjadi orang yang tidak pernah bersalah tentu mustahil. Yang penting, kita tidak berputus asa dan segera bertobat setiap kali melakukan kesalahan. Rasulullah yang dikenal maksum (bersih diri) saja, menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Said dari Abu Hurairah, saban hari lebih 100 kali meminta pengampunan dari Allah SWT. Beliau mengatakan: Orang yang bertobat dari dosa, ibarat orang yang tidak punya dosa sama sekali (HR Ibnu Majah).
Abu Nawas, penyair istana Khalifah Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah pernah mengeluh bahwa dirinya tidaklah pantas masuk surga, tapi tidak kuat dimasukkan dalam neraka. Menjelang mayatnya dimandikan, di balik dadanya ditemukan bait-bait syair yang ia tulis sebelum wafat: Dosaku bak bilangan pasir, kesalahanku terus bertambah. Ilahi, bagaimana hamba memikulnya?
Seorang muslim yang baik pasti akan mengharap ampunan dari Allah SWT. Untuk mendapatkannya, sebenarnya, bukanlah perkara yang sulit, namun tidak semua orang berhasil menjangkaunya. Ini karena tidak sedikit orang yang mau dan mampu memenuhi syaratnya. Sebagai misal, tak jarang orang yang masih merasa keberatan untuk menjalankan ibadah puasa bulan Ramadhan. Padahal, seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW, Allah mengampuni dosa-dosa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan kesadarannya.
Puasa Ramadhan sendiri sebenarnya bukan hanya menghapuskan dosa-dosa, tapi juga sangat bermanfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani. Suatu hari pernah seorang laki-laki yang menderita penyakit psikosomatik sejak beberapa tahun datang kepada saya. Ia mengaku telah berobat ke beberapa dokter di dalam dan luar negeri, namun penyakitnya tak kunjung sembuh. Saya lalu menyarankannya untuk rajin salat dan menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Beberapa pekan kemudian ia datang lagi kepada saya dan menyatakan telah sembuh, tidurnya nyenyak dan perasaannya lebih enak. Ia juga melaporkan, selalu menjalankan salat dan berpuasa Ramadhan, meski sebenarnya dokternya melarang berpuasa. Ia lalu berkata kepada saya, ''Rupanya saya sedang dalam perjalanan.'' ''Perjalanan ke mana?'' tanya saya. ''Ke pengampunan Tuhan,'' jawabnya riang. Ia benar-benar sembuh dari penyakitnya lantaran rajin salat dan puasa Ramadhan.
Sebuah kasus menarik lain terjadi pada seorang ibu yang cukup berpendidikan. Ia melarang anaknya yang masih kelas dua SD untuk berpuasa Ramadhan, karena khawatir anaknya yang masih kecil akan jatuh sakit. Namun anaknya berkeras lantaran teman-temannya banyak yang melakukannya. Akhirnya wanita itu membiarkan anaknya berpuasa, sementara ia datang ke seorang dokter yang taat beragama untuk berkonsultasi mengenai anaknya.
Secara sederhana dokter menjelaskan, bahwa anak yang lebih kecil dari anak wanita itu pun sudah banyak yang berpuasa dan tidak sakit. Terlepas dari penjelasan dokter, di desa-desa Islami banyak anak-anak usia enam tahunan yang sudah menjalankan puasa. Dan jarang terdengar ada anak yang sakit lantaran berpuasa. Yang jelas, bila kita sudah membiasakan anak berpuasa sejak dini, berarti anak-anak sudah mulai latihan menjalankan ajaran agama. Sehingga bila mereka tumbuh remaja dan kemudian dewasa, mereka tak akan merasa berat menjalankan ajaran agamanya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Musa Al Asy'ari disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena keberaniannya, karena fanatisme, karena riyak, mana di antaranya yang berada di jalan Allah? Rasulullah menjawab, ''Barangsiapa yang berperang agar Kalimatullah itulah yang tertinggi, maka ia berada di jalan Allah.'' Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, ''Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan penampilanmu, tetapi Allah melihat hatimu.''
Ikhas adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Mulut kita setiap saat boleh jadi mengatakan, ''Saya ikhlas kok.'' Tetapi, karena keikhlasan bukanlah aktivitas mulut, maka sebanyak apa pun kita mengatakan kita ikhlas kalau hati tidak ikhlas maka itu tidak akan mempunyai arti setikit pun di hadapan Allah. Para ahli sufi mengatakan, ''Amal itu bersifat fisik, sedangkan ruhnya adalah ikhlas.'' Oleh karenanya, setiap amal yang tidak dibangun di atas landasan keikhlasan adalah amalan mati yang tertolak dan tidak diberkahi.
Untuk mewujudkan perasaan ikhlas, setiap Muslim harus senantiasa meluruskan niatannya dalam setiap amal yang dilakukannya, meneliti setiap motivasi yang menggerakkannya untuk beramal. Setelah itu tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk diam tidak beramal karena takut tidak ikhlas, saatnya untuk segera beramal dengan penuh semangat dan kesungguhan seakan-akan Allah melihat sekecil apa pun kesalahan yang dia perbuat dalam setiap amal atau kerja yang dilakukan.
Ada berbagai dorongan kejiwaan yang dapat menyelewengkan kita dari keikhlasan, di antaranya: kekayaan, penampilan, ketenaran, pangkat, dan kepentingan. Setiap kita hendaknya meneliti hati dan jiwa kita, adakah salah satu dari hal tersebut di atas menjadi motivasi atau niat dalam kita beramal. Jikalau ternyata benar, jangan serta merta amalan itu kita tinggalkan, tetapi hendaklah kita luruskan niat semata-mata karena Allah, kemudian kita lanjutkan amal dan kerja dengan niat yang ikhlas.
Ketika keikhlasan sudah bersemayam di dalam setiap orang Muslim, maka ketika ada pekerjaan yang harus ditunaikan tentulah akan berdesak-desakan orang datang untuk mengerjakannya, menghilang ketika ada keuntungan, saling mengalah dalam urusan dunia, dan saling berlomba dalam urusan akhirat. Namun, ketika rasa ikhlas itu jauh dari hati orang mukmin tentu yang terjadi adalah sebaliknya, sepi ketika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, berdesak-desakan ketika ada keuntungan, dan saling tidak mau kalah dalam urusan dunia, dan saling mengalah bahkan malas dalam urusan akhirat. Keikhlasan akan menimbulkan kedamaian dan persaudaraan, sedangkan ketidakikhlasan akan menimbulkan kekacauan dan pecahnya persaudaraan.
Ada sebuah kata-kata bijak yang dapat kita ambil hikmahnya: hendaklah Anda berbuat amalan-amalan yang mendatangkan pujian, kemudian Anda lari dari mendengar pujian-pujian itu. Allah juga telah mengingatkan kita dalam sebuah ayat untuk bekerja, beramal, beribadah semata-mata karena Allah. ''Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah karena Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan (Al An'am: 162-163)''. Wallahu a'lam.
Alquran menjanjikan lewat salah satu ayat-Nya: ''Barangsiapa bertakwa kepada Allah, akan dikaruniai-Nya pertolongan dari arah yang tak tersangka-sangka.'' (QS 65:3).
Bagi mereka yang tidak tahu asal-usulnya, lebih-lebih yang tak mengenal kekuatan dahsyat ibadah, pertolongan seperti yang dinyatakan Alquran itu dianggap sekadar keajaiban alam. Padahal pertolongan itu merupakan fenomena supranatural yang tak terjelaskan melalui kata-kata. Hanya bisa ditangkap dengan penghayatan dan ketajaman mata batin yang dinamakan bashirah.
Karena itu berbagai istilah digunakan oleh para pakar nonagamis untuk mengenali fenomena supranatural tersebut. Sedangkan dalam pandangan ulama sufi, pertolongan itu dibedakan sesuai tingkat ketakwaan seseorang. Untuk kelebihan yang dimiliki para wali, dinamakan karomah, artinya kemuliaan, lantaran datangnya dari Tuhan sebagai isyarat ketinggian martabat seorang hamba yang sangat taat kepada Penciptanya.
Dalam suatu hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, ''Sesungguhnya Allah berfirman: Tidak seorang pun yang mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib dan amalan sunat yang Aku sukai, kecuali Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, ia akan mendengar dengan telinga-Ku, akan melihat dengan mata-Ku, akan menjamah dengan tangan-Ku, dan akan melangkah dengan kaki-Ku. Jika ia memohon pada-Ku pasti Kukabulkan, dan jika meminta perlindungan-Ku niscaya Kulindungi.''
Selain itu, karomah bisa muncul pada seseorang yang tawakal dan jujur, yakni dua sifat kewalian yang utama. Dari sifat tawakal dan jujur akan lahir rasa keadilan dan kebijaksanaan yang lapang. Seperti keajaiban yang dimiliki Kyai Jamil, ulama sederhana di kota kecil Pemalang, Jawa Tengah, yang weruh sadurunge winarah atau bisa menebak pikiran orang.
Suatu hari, seorang tukang becak bertengkar dengan istrinya. Pasalnya, si suami keliru memberikan sedekah kepada Kyai Jamil. Niatnya hanya mau mengeluarkan dua ratus rupiah dari dompet bututnya untuk pembangunan majlis taklim Kyai Jamil, tetapi yang diserahkan satu lembar sepuluh ribuan dan satu lembar ratusan.
Tegur si istri, ''Itu kan hasil memeras keringat selama seminggu.'' Tiba-tiba wajah si suami berubah pias. ''Ssst, jangan ngomel terus, nanti Kyai Jamil dengar,'' tukasnya. ''Dengar dari mana, wong rumahnya jauh,'' bantah si istri. Hanya terpaut beberapa saat, sekonyong-konyong Kyai Jamil telah muncul di depan pintu. Sesudah mengucapkan salam, ulama sepuh tersebut langsung menyodorkan uang sepuluh ribuan sambil berkata, ''Tolong ambil uang ini, dan ganti dengan seratus rupiah saja.''
Pasangan suami istri itu tak bisa menolak atau bersuara. Mereka kian yakin, Kyai Jamil betul-betul wali yang serba tahu. Padahal keajaiban tersebut semata-mata berkat kejujuran dan nalar Kyai Jamil sehat. Mana mungkin tukang becak mampu memberi sedekah sepuluh ribu seratus rupiah, padahal penghasilannya sehari hanya sekitar dua ribu atau tiga ribu rupiah?
Lagipula jumlah sepuluh ribu seratus rupiah rasanya sangat ganjil. Yang pantas seharusnya dua puluh ribu atau dua ratus rupiah. Menurut pandangan Kyai Jamil, untuk tingkatan tukang becak lebih masuk akal kalau hanya mampu bersedekah dua ratus rupiah.
Oh, andaikata semua pemuka agama, penggede negara, pengelola perusahaan, dan panutan masyarakat, memiliki kejujuran dan nalar yang sehat seperti Kyai Jamil, barangkali Nabi saw takkan perlu mengingatkan, ''Inna syarra ummati aimmatuhum, sesungguhnya seburuk-buruk umatku adalah para pemimpin mereka.''
Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan para sufi. Siapa yang lebih baik di antara keduanya? Si miskin yang sabar atau si kaya yang pandai bersyukur dan murah hati? Sebagian sufi, seperti Harits al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali, memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si miskin. Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada si kaya dengan merujuk kepada sehabat-sahabat Nabi saw, yang hartawan, tapi dermawan, semacam Utsman Ibn 'Affan dan Abdul Rahman Ibn 'Auf. Sementara Ibn Taimiyah, pembaharu pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf, mengemukakan pemikiran baru dalam masalah ini. Dalam buku bertajuk Al-Shufiyah wal-Fuqara, Ibn Taimiyah memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin, melainkan kepada orang yang lebih bertakwa di antara keduanya. (Kitab Al-Shufiyah wal-Fuqara', Hlh. 25-26).
Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si miskin lebih banyak, maka ia lebih utama. Sebaliknya, bila kebaikan si kaya lebih banyak, maka si kaya lebih baik. Jika kebaikan mereka sama, maka kemuliaan mereka sederajat dan setingkat. Hanya, dalam kasus ini, tutur Ibn Taimiyah, si miskin lebih dahulu melangkah ke sorga daripada si kaya. Karena langkah si kaya tertahan sejenak di depan pintu sorga lantaran harus menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta dan kekayaan yang dimiliki.
Miskin dan kaya, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah di atas, tidak menjadi dasar keutamaan seorang. Dasar mengenai itu, tetap iman dan takwa. Di sini, miskin dan kaya hanya dapat diidentifikasi sebagai alat uji semata. Sebagai alat uji, keduanya diyakini dapat memberi pengaruh terhadap perilaku manusia, baik maupun buruk. Pengaruh ini, tentu sangat bergantung kepada kesiapan mental penerima ujian. Untuk itu, ada manusia yang tidak siap dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan, seperti kata Nabi saw, dapat mendekatkan manusia kepada kekufuran. (HR Baihaqi). Sebaliknya, banyak pula manusia yang tidak siap dengan kekayaan, sehingga kekayaan membuat dirinya menjadi pelit dan sombong. Inilah makna firman Allah, ''Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.'' (Al-'Alaq: 6-7).
Sebagai alat uji, kefakiran dan kekayaan itu tidak kekal, tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar. Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin, tapi kemudian Allah swt membuat dirinya kaya (Al-Dhuha: 9). Maksud kaya di sini, menurut sebagian besar ahli tafsir, adalah kaya harta. Hal ini, karena perkataan 'dibuat kaya' (Aghna) dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin ('Aailan).
Namun, menurut Abdullah Yusuf Ali, kaya di situ lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual. Dengan kekayaan ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi saw bukan saja dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan semua perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja dan beribadah kepada Allah swt. Wallahu a'lam! (S.Rusmin)
Dalam Alquran, menurut penyelidikan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz Alquran , kata puasa ( al-shaum ) terulang sebanyak 14 kali dalam berbagai bentuknya. Khusus mengenai puasa Ramadhan, dapat dilihat keterangannya secara beruntun dalam surah al-Baqarah ayat 183 s/d 167. Berdasarkan penyelidikannya yang mendalam terhadap ayat-ayat mengenai puasa di atas, Abdul Halim Mahmud, mantan Grand Syaikh al-Azhar, dalam bukunya Asrar al-'Ibadah (Rahasia Ibadah), mengemukakan tiga hikmah penting ibadah puasa.
Pertama, puasa diwajibkan sebagai sarana mempersiapkan individu Muslim menjadi orang takwa (Q. S. 2: 183). Karena tujuan utama puasa adalah takwa, maka menurut Abdul Halim Mahmud, setiap orang yang berpuasa harus mampu mengorganisir seluruh organ tubuhnya dan mengatur semua aktivitasnya ke arah tujuan yang hendak dicapai itu (takwa).
Kedua, puasa diwajibkan sebagai syukur nikmat. Allah SWT memerintahkan puasa setelah Ia menerangkan bahwa Ramadhan yang mulia itu adalah bulan yang di dalamnya petunjuk Allah yang amat sempurna diturunkan, yaitu Alquran (Q. S. 2: 185). Karena itu, turunnya wahyu itu patut disambut dan ''dirayakan''. Namun, perayaan ini haruslah dengan kegiatan yang sesuai. Dalam kaitan ini, penyambutan dan ''perayaan'' itu hanya patut dilakukan dengan mempersiapkan diri untuk bisa menerima petunjuk itu dengan cara yang paling baik, yaitu puasa.
Ketiga, puasa membuat pelakunya dekat dengan Tuhan dan semua permohonan dan doanya didengar dan dikabulkan. Inilah makna firman Allah: ''Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku'' (Q.S. 2.186).
Menyimak beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, nyatalah bahwa puasa merupakan sesuatu yang semestinya kita lakukan. Ia bukan semata kewajiban, melainkan suatu kebutuhan. Untuk itu, setiap muslim harus menyambut gembira datangnya Ramadhan ini dan melaksanakan ibadah puasa dengan penuh suka cita. Dengan begitu, setiap kita mempunyai alasan moral untuk mendapat pengampunan Tuhan dan pembebasan dari siksa-Nya. ahi
Ramadhan memang bulan ibadah. Porsi ibadah biasanya akan bertambah. Tetapi Ramadhan juga bulan segala kegiatan dan kerja keras. Tak ada alasan buat umat Islam untuk berleha-leha di siang hari karena berpuasa. Kesibukan kerja di siang hari malah membuat hari terasa pendek. Kita perlu menengok ke dalam sejarah, melihat bagaimana kesibukan Rasulullah saw pada bulan-bulan ini.
Dalam melaksanakan ibadah Rasulullah lebih mengkhususkan diri pada bulan puasa, sehingga seolah ia tak lagi mengenal dunia, dengan memperbanyak ibadah: melakukan salat, membaca Alquran, zikir, bersedekah, dan pada malam kesepuluh terakhir beri'tikaf di masjid, dan menganjurkan kita memperbanyak ibadah.
Sungguh pun begitu tidak berarti Nabi lalu bersantai-santai dan melalaikan tugas-tugas duniawi. Justru peristiwa-peristiwa besar banyak terjadi pada bulan Ramadhan, seperti ditulis Ali Hasani al-Kharbutli, al-Rasul fi Ramadhan. Juga dalam buku-buku sejarah, tafsir, dan hadis, dapat kita baca betapa sibuknya Rasulullah.
Bagi Rasulullah bulan puasa adalah bulan jihad, bulan perjuangan. Sejak tahun pertama Hijri dalam bulan puasa beberapa ekspedisi militer dikerahkan untuk menghadapi musuh, kaum musyrik Mekah yang selalu datang mengganggu dengan serangan kecil-kecilan pada mulanya, dan kemudian sampai di puncaknya pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijri dengan pecahnya perang Badr. Tetapi justru inilah kemenangan Islam yang pertama menghadapi kaum musyrik Quraisy, ''Allah telah menolong kamu di Badr ketika kamu dalam keadaan lemah. Maka bertakwalah kepada Allah, dengan demikian kamu bersyukur'' (Q. S. 3: 123).
Setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya, terjadi pula perang Uhud dan perang Parit, sedikit sebelum dan sesudah bulan puasa, sampai akhirnya pada Ramadhan tahun ke-8, Mekah sebagai markas besar musyrik Quraisy dapat dibebaskan, berhala-berhala dihancurkan dan tauhid ditegakkan. Dan pada Ramadhan tahun berikutnya Rasul kembali dari ekspedisi Tabuk dengan membawa kemenangan pula.
Itulah kemenangan-kemenangan Ramadhan yang terbesar, disusul dengan kedatangan utusan Banu Saqif dari Taif -- sebagai benteng terakhir kaum pagan yang paling keras -- ke Medinah, menyatakan pengakuan dan kesetiaan penduduk Taif kepada Rasulullah. Itulah jatuhnya benteng terakhir kaum penyembah berhala di jazirah Arab.
Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar seperti perang Badr dan pembebasan Mekah dalam bulan puasa itu adakalanya Rasulullah dan sahabat-sahabat terpaksa membatalkan puasa.
Dalam bulan ini pula banyak peristiwa besar lain terjadi. Muhammad menerima tugas dan diutus Allah sebagai rasul-Nya terjadi pada bulan Ramadhan, yang dengan sendirinya juga turunnya wahyu pertama. Ramadhan, bulan penuh kegiatan, bulan kemenangan rohani dan jasmani. ahi
Ada tiga unsur yang melengkapi diri kita sehingga kita dapat hidup sebagai pribadi. Ketiga unsur itu menentukan hidup dan kehidupan kita lebih lanjut. Ketiganya adalah hati, otak (akal), dan jasmani. Otak mampu menciptakan konsep-konsep atau keinginan-keinginan untuk mencapai sesuatu. Otak juga dapat menciptakan hal-hal yang baru sama sekali, seperti produk-produk iptek (barang-barng elektronik canggih, bahkan bom/peralatan nuklir). Sedangkan hati menyaring apa yang patut atau tidak patut dikerjakan. Kalau hati seseorang baik (bersih) tentu dapat memberi arah apa yang seyogianya otak ciptakan. Tetapi kalau hatinya tidak bersih (hitam), maka dapat saja otak tersebut bekerja semaunya, menciptakan apa saja yang tidak dikehendakinya, tidak peduli apakah baik atau tidak, apakah akan membinasakan atau menyelamatkan umat manusia. Jelas orang yang seperti ini berbahaya, karena dapat ia lakukan hal-hal seperti dikemukakan tadi. Yang pokok, keinginannya tercapai.
Sementara peran jasmani adalah melaksanakan apa yang telah dikehendaki oleh otak dan hati. Ia bekerja, kalau sudah ada perintah dari otak dan hati. Jasmani tidak berpikir, ia hanya bekerja setelah menerima petunjuk. Yang pokok, jasmani perlu dirawat dan dilatih agar senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga dapat berfungsi. Bahkan unsur jasmani ini turut menentukan, karena meskipun otak dan hati telah melahirkan suatu gagasan yang cukup ideal, namun tidak akan dapat direalisasikan apabila jasmani tidak berdaya.
Di sinilah betapa besar peran ibadah puasa dalam pembentukan pribadi. Perannya ialah berusaha menyehatkan ketiga unsur tadi sekaligus. Ia membersihkan hati melalui peningkatan ibadah (di samping berpuasa, juga salat, termasuk salat tarawih, dan berlatih diri menahan hawa nafsu yang cenderung ke perbuatan-perbuatan tercela) yang akhirnya berpengaruh pula pada cara berpikir. Orang yang beriman (bertakwa) dan yang bersih hatinya, biasanya pemikirannya pun jernih dan selalu berusaha menghindari perbuatan maksiat.
Sedangkan orang yang berpuasa, akan terawat (terpelihara) kesehatannya, karena sesuai dengan keterangan para dokter, puasa dapat menyembuhkan, setidak-tidaknya mengurangi penyakit tekanan darah tinggi, jantung, lambung, dan lain-lain. Jadi, puasa sekaligus berusaha menyehatkan rohani, pemikiran dan jasmani sehingga gagasan-gagasan yang diciptakan oleh orang yang berpuasa selalu jernih dan selalu pula memperhatikan kepentingan umat (orang banyak). Oleh karena itu, puasa sangat bermanfaat bagi para pemimpin.
Setiap kita tentu pernah berbuat salah, melakukan dosa. Tapi, tak banyak di antara kita yang mau sibuk mengkalkulasi kesalahan-kesalahannya itu. Padahal, introspeksi diri, yakni mencoba menghitung jumlah kealpaan yang pernah kita perbuat baik kepada Tuhan maupun kepada sesama, tidak kalah pentingnya dengan menjumlah kebaikan dan jasa yang kita lakukan. Introspeksi diri (tafakkur) itu, menurut ulama besar Mesir almarhum Abbas Mahmud al-Akkad, dalam agama hukumnya wajib. Rasulullah SAW sendiri berulangkali menekankan pentingnya bertafakkur sejenak yang, kata beliau, nilainya bisa melebihi ibadah setahun.
Lalu, bagaimanakah cara bertafakkur itu menurut agama? Para ulama menyatakan, dengan salat tahajud setelah lewat tengah malam. Sebelum salat tahajud, hendaknya didahului dengan salat taobat (tobat) dua rakaat. Setelah itu, barulah dimulai bertafakkur, bermuhasabah. Untuk bertafakkur atau bermuhasabah ini, Rasulullah juga terbiasa menggedor-gedor rumah Ali r.a. dan mengajaknya melakukan amalan sunat itu. Sedang tolok ukur untuk bermuhasabah itu, Nabi SAW menjelaskan: Barangsiapa kualitas hidupnya hari ini lebih baik dari kemarin, dialah orang yang beruntung. Barangsiapa kualitas hidupnya hari ini sama dengan kemarin, maka dia termasuk orang yang rugi. Dan barangsiapa kualitas hidupnya hari ini lebih buruk dari kemarin, maka terkutuklah dia.
Tidak bisa dibantah, bahwa dosa-dosa yang kita perbuat (kalau kita jujur mengkalkulasinya) pasti tidak sedikit. Dari yang (kelihatannya) remeh seperti berkata jorok, ngomongin orang lain, prasangka, bohong, pandangan buruk sampai yang lebih berat seperti ihwal kehalalan rezeki kita, manipulasi, saling menjatuhkan, dan lain-lain.
Menjadi orang yang tidak pernah bersalah tentu mustahil. Yang penting, kita tidak berputus asa dan segera bertobat setiap kali melakukan kesalahan. Rasulullah yang dikenal maksum (bersih diri) saja, menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Said dari Abu Hurairah, saban hari lebih 100 kali meminta pengampunan dari Allah SWT. Beliau mengatakan: Orang yang bertobat dari dosa, ibarat orang yang tidak punya dosa sama sekali (HR Ibnu Majah).
Abu Nawas, penyair istana Khalifah Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah pernah mengeluh bahwa dirinya tidaklah pantas masuk surga, tapi tidak kuat dimasukkan dalam neraka. Menjelang mayatnya dimandikan, di balik dadanya ditemukan bait-bait syair yang ia tulis sebelum wafat: Dosaku bak bilangan pasir, kesalahanku terus bertambah. Ilahi, bagaimana hamba memikulnya?
Seorang muslim yang baik pasti akan mengharap ampunan dari Allah SWT. Untuk mendapatkannya, sebenarnya, bukanlah perkara yang sulit, namun tidak semua orang berhasil menjangkaunya. Ini karena tidak sedikit orang yang mau dan mampu memenuhi syaratnya. Sebagai misal, tak jarang orang yang masih merasa keberatan untuk menjalankan ibadah puasa bulan Ramadhan. Padahal, seperti disabdakan Nabi Muhammad SAW, Allah mengampuni dosa-dosa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan kesadarannya.
Puasa Ramadhan sendiri sebenarnya bukan hanya menghapuskan dosa-dosa, tapi juga sangat bermanfaat untuk kesehatan jasmani dan rohani. Suatu hari pernah seorang laki-laki yang menderita penyakit psikosomatik sejak beberapa tahun datang kepada saya. Ia mengaku telah berobat ke beberapa dokter di dalam dan luar negeri, namun penyakitnya tak kunjung sembuh. Saya lalu menyarankannya untuk rajin salat dan menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Beberapa pekan kemudian ia datang lagi kepada saya dan menyatakan telah sembuh, tidurnya nyenyak dan perasaannya lebih enak. Ia juga melaporkan, selalu menjalankan salat dan berpuasa Ramadhan, meski sebenarnya dokternya melarang berpuasa. Ia lalu berkata kepada saya, ''Rupanya saya sedang dalam perjalanan.'' ''Perjalanan ke mana?'' tanya saya. ''Ke pengampunan Tuhan,'' jawabnya riang. Ia benar-benar sembuh dari penyakitnya lantaran rajin salat dan puasa Ramadhan.
Sebuah kasus menarik lain terjadi pada seorang ibu yang cukup berpendidikan. Ia melarang anaknya yang masih kelas dua SD untuk berpuasa Ramadhan, karena khawatir anaknya yang masih kecil akan jatuh sakit. Namun anaknya berkeras lantaran teman-temannya banyak yang melakukannya. Akhirnya wanita itu membiarkan anaknya berpuasa, sementara ia datang ke seorang dokter yang taat beragama untuk berkonsultasi mengenai anaknya.
Secara sederhana dokter menjelaskan, bahwa anak yang lebih kecil dari anak wanita itu pun sudah banyak yang berpuasa dan tidak sakit. Terlepas dari penjelasan dokter, di desa-desa Islami banyak anak-anak usia enam tahunan yang sudah menjalankan puasa. Dan jarang terdengar ada anak yang sakit lantaran berpuasa. Yang jelas, bila kita sudah membiasakan anak berpuasa sejak dini, berarti anak-anak sudah mulai latihan menjalankan ajaran agama. Sehingga bila mereka tumbuh remaja dan kemudian dewasa, mereka tak akan merasa berat menjalankan ajaran agamanya.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Musa Al Asy'ari disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena keberaniannya, karena fanatisme, karena riyak, mana di antaranya yang berada di jalan Allah? Rasulullah menjawab, ''Barangsiapa yang berperang agar Kalimatullah itulah yang tertinggi, maka ia berada di jalan Allah.'' Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, ''Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan penampilanmu, tetapi Allah melihat hatimu.''
Ikhas adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Mulut kita setiap saat boleh jadi mengatakan, ''Saya ikhlas kok.'' Tetapi, karena keikhlasan bukanlah aktivitas mulut, maka sebanyak apa pun kita mengatakan kita ikhlas kalau hati tidak ikhlas maka itu tidak akan mempunyai arti setikit pun di hadapan Allah. Para ahli sufi mengatakan, ''Amal itu bersifat fisik, sedangkan ruhnya adalah ikhlas.'' Oleh karenanya, setiap amal yang tidak dibangun di atas landasan keikhlasan adalah amalan mati yang tertolak dan tidak diberkahi.
Untuk mewujudkan perasaan ikhlas, setiap Muslim harus senantiasa meluruskan niatannya dalam setiap amal yang dilakukannya, meneliti setiap motivasi yang menggerakkannya untuk beramal. Setelah itu tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk diam tidak beramal karena takut tidak ikhlas, saatnya untuk segera beramal dengan penuh semangat dan kesungguhan seakan-akan Allah melihat sekecil apa pun kesalahan yang dia perbuat dalam setiap amal atau kerja yang dilakukan.
Ada berbagai dorongan kejiwaan yang dapat menyelewengkan kita dari keikhlasan, di antaranya: kekayaan, penampilan, ketenaran, pangkat, dan kepentingan. Setiap kita hendaknya meneliti hati dan jiwa kita, adakah salah satu dari hal tersebut di atas menjadi motivasi atau niat dalam kita beramal. Jikalau ternyata benar, jangan serta merta amalan itu kita tinggalkan, tetapi hendaklah kita luruskan niat semata-mata karena Allah, kemudian kita lanjutkan amal dan kerja dengan niat yang ikhlas.
Ketika keikhlasan sudah bersemayam di dalam setiap orang Muslim, maka ketika ada pekerjaan yang harus ditunaikan tentulah akan berdesak-desakan orang datang untuk mengerjakannya, menghilang ketika ada keuntungan, saling mengalah dalam urusan dunia, dan saling berlomba dalam urusan akhirat. Namun, ketika rasa ikhlas itu jauh dari hati orang mukmin tentu yang terjadi adalah sebaliknya, sepi ketika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, berdesak-desakan ketika ada keuntungan, dan saling tidak mau kalah dalam urusan dunia, dan saling mengalah bahkan malas dalam urusan akhirat. Keikhlasan akan menimbulkan kedamaian dan persaudaraan, sedangkan ketidakikhlasan akan menimbulkan kekacauan dan pecahnya persaudaraan.
Ada sebuah kata-kata bijak yang dapat kita ambil hikmahnya: hendaklah Anda berbuat amalan-amalan yang mendatangkan pujian, kemudian Anda lari dari mendengar pujian-pujian itu. Allah juga telah mengingatkan kita dalam sebuah ayat untuk bekerja, beramal, beribadah semata-mata karena Allah. ''Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah karena Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan (Al An'am: 162-163)''. Wallahu a'lam.
Alquran menjanjikan lewat salah satu ayat-Nya: ''Barangsiapa bertakwa kepada Allah, akan dikaruniai-Nya pertolongan dari arah yang tak tersangka-sangka.'' (QS 65:3).
Bagi mereka yang tidak tahu asal-usulnya, lebih-lebih yang tak mengenal kekuatan dahsyat ibadah, pertolongan seperti yang dinyatakan Alquran itu dianggap sekadar keajaiban alam. Padahal pertolongan itu merupakan fenomena supranatural yang tak terjelaskan melalui kata-kata. Hanya bisa ditangkap dengan penghayatan dan ketajaman mata batin yang dinamakan bashirah.
Karena itu berbagai istilah digunakan oleh para pakar nonagamis untuk mengenali fenomena supranatural tersebut. Sedangkan dalam pandangan ulama sufi, pertolongan itu dibedakan sesuai tingkat ketakwaan seseorang. Untuk kelebihan yang dimiliki para wali, dinamakan karomah, artinya kemuliaan, lantaran datangnya dari Tuhan sebagai isyarat ketinggian martabat seorang hamba yang sangat taat kepada Penciptanya.
Dalam suatu hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, ''Sesungguhnya Allah berfirman: Tidak seorang pun yang mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan wajib dan amalan sunat yang Aku sukai, kecuali Aku mencintainya. Dan jika Aku mencintainya, ia akan mendengar dengan telinga-Ku, akan melihat dengan mata-Ku, akan menjamah dengan tangan-Ku, dan akan melangkah dengan kaki-Ku. Jika ia memohon pada-Ku pasti Kukabulkan, dan jika meminta perlindungan-Ku niscaya Kulindungi.''
Selain itu, karomah bisa muncul pada seseorang yang tawakal dan jujur, yakni dua sifat kewalian yang utama. Dari sifat tawakal dan jujur akan lahir rasa keadilan dan kebijaksanaan yang lapang. Seperti keajaiban yang dimiliki Kyai Jamil, ulama sederhana di kota kecil Pemalang, Jawa Tengah, yang weruh sadurunge winarah atau bisa menebak pikiran orang.
Suatu hari, seorang tukang becak bertengkar dengan istrinya. Pasalnya, si suami keliru memberikan sedekah kepada Kyai Jamil. Niatnya hanya mau mengeluarkan dua ratus rupiah dari dompet bututnya untuk pembangunan majlis taklim Kyai Jamil, tetapi yang diserahkan satu lembar sepuluh ribuan dan satu lembar ratusan.
Tegur si istri, ''Itu kan hasil memeras keringat selama seminggu.'' Tiba-tiba wajah si suami berubah pias. ''Ssst, jangan ngomel terus, nanti Kyai Jamil dengar,'' tukasnya. ''Dengar dari mana, wong rumahnya jauh,'' bantah si istri. Hanya terpaut beberapa saat, sekonyong-konyong Kyai Jamil telah muncul di depan pintu. Sesudah mengucapkan salam, ulama sepuh tersebut langsung menyodorkan uang sepuluh ribuan sambil berkata, ''Tolong ambil uang ini, dan ganti dengan seratus rupiah saja.''
Pasangan suami istri itu tak bisa menolak atau bersuara. Mereka kian yakin, Kyai Jamil betul-betul wali yang serba tahu. Padahal keajaiban tersebut semata-mata berkat kejujuran dan nalar Kyai Jamil sehat. Mana mungkin tukang becak mampu memberi sedekah sepuluh ribu seratus rupiah, padahal penghasilannya sehari hanya sekitar dua ribu atau tiga ribu rupiah?
Lagipula jumlah sepuluh ribu seratus rupiah rasanya sangat ganjil. Yang pantas seharusnya dua puluh ribu atau dua ratus rupiah. Menurut pandangan Kyai Jamil, untuk tingkatan tukang becak lebih masuk akal kalau hanya mampu bersedekah dua ratus rupiah.
Oh, andaikata semua pemuka agama, penggede negara, pengelola perusahaan, dan panutan masyarakat, memiliki kejujuran dan nalar yang sehat seperti Kyai Jamil, barangkali Nabi saw takkan perlu mengingatkan, ''Inna syarra ummati aimmatuhum, sesungguhnya seburuk-buruk umatku adalah para pemimpin mereka.''
Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan para sufi. Siapa yang lebih baik di antara keduanya? Si miskin yang sabar atau si kaya yang pandai bersyukur dan murah hati? Sebagian sufi, seperti Harits al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali, memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si miskin. Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada si kaya dengan merujuk kepada sehabat-sahabat Nabi saw, yang hartawan, tapi dermawan, semacam Utsman Ibn 'Affan dan Abdul Rahman Ibn 'Auf. Sementara Ibn Taimiyah, pembaharu pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf, mengemukakan pemikiran baru dalam masalah ini. Dalam buku bertajuk Al-Shufiyah wal-Fuqara, Ibn Taimiyah memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin, melainkan kepada orang yang lebih bertakwa di antara keduanya. (Kitab Al-Shufiyah wal-Fuqara', Hlh. 25-26).
Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si miskin lebih banyak, maka ia lebih utama. Sebaliknya, bila kebaikan si kaya lebih banyak, maka si kaya lebih baik. Jika kebaikan mereka sama, maka kemuliaan mereka sederajat dan setingkat. Hanya, dalam kasus ini, tutur Ibn Taimiyah, si miskin lebih dahulu melangkah ke sorga daripada si kaya. Karena langkah si kaya tertahan sejenak di depan pintu sorga lantaran harus menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta dan kekayaan yang dimiliki.
Miskin dan kaya, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah di atas, tidak menjadi dasar keutamaan seorang. Dasar mengenai itu, tetap iman dan takwa. Di sini, miskin dan kaya hanya dapat diidentifikasi sebagai alat uji semata. Sebagai alat uji, keduanya diyakini dapat memberi pengaruh terhadap perilaku manusia, baik maupun buruk. Pengaruh ini, tentu sangat bergantung kepada kesiapan mental penerima ujian. Untuk itu, ada manusia yang tidak siap dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan, seperti kata Nabi saw, dapat mendekatkan manusia kepada kekufuran. (HR Baihaqi). Sebaliknya, banyak pula manusia yang tidak siap dengan kekayaan, sehingga kekayaan membuat dirinya menjadi pelit dan sombong. Inilah makna firman Allah, ''Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.'' (Al-'Alaq: 6-7).
Sebagai alat uji, kefakiran dan kekayaan itu tidak kekal, tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar. Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin, tapi kemudian Allah swt membuat dirinya kaya (Al-Dhuha: 9). Maksud kaya di sini, menurut sebagian besar ahli tafsir, adalah kaya harta. Hal ini, karena perkataan 'dibuat kaya' (Aghna) dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin ('Aailan).
Namun, menurut Abdullah Yusuf Ali, kaya di situ lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual. Dengan kekayaan ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi saw bukan saja dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan semua perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja dan beribadah kepada Allah swt. Wallahu a'lam! (S.Rusmin)
DAHSYATNYA SEDEKAH RAMADHAN *)
Islam menganjurkan umatnya untuk banyak bersedekah. Di bulan Ramadan amalan ini menjadi lebih dianjurkan lagi dan menjadi salah satu pintu keutamaan yang dibuka oleh Allah untuk meraih keuntungan besar. Rasulullah SAW sebagai referensi utama umat Islam pada bulan Ramadan diriwayatkan sangat dermawan, sangat mudah mengeluarkan sedekah ibarat angin yang bertiup kencang. Bahkan secara eksplisit beliau diriwayatkan pernah bersabda : Sebaik-baik sedekah adalah sedekah yang dilakukan di Bulan Ramadan. Tidak ditemukan penjelasan mengapa sedekah di bulan Ramadan begitu utama, tetapi penjelasannya dapat kita simpulkan dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi.
Sedekah jika dilakukan di bulan Ramadan menjadi amalan yang utama karena memadukan dua keutamaan. Pertama; Keutamaan waktu yaitu bulan Ramadan. Ramadan adalah waktu di mana amalan-amalan seorang muslim dilipat gandakan oleh Allah SWT., yang menurut Rasulullah dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat atau bahkan lebih dari itu. Kedua; Keutamaan amalan, yaitu sedekah itu sendiri. Sedekah yang dilakukan semata-mata mengharapkan keridlaan Allah, akan mendapat ganjaran dari Allah berupa kebaikan tujuh ratus kali lipat. Hal ini bisa dipahami dari QS. (2): 268: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.
Ayat di atas tidak menetukan waktu pelaksanaan sedekah sebagai bagian dari infaq di jalan Allah, untuk mendapatkan kemuliaan ganjaran pahala yang dimaksud. Artinya kapan saja dilakukan maka akan mendapatkan ganjaran pahala tersebut. Sehingga dapat dibayangkan begitu besar ganjaran yang akan didapatkan seseorang yang bersedekah di Bulan Ramadan. Apalagi jika kondisi ruhaniah orang yang melakukan sedekah tersebut diperhitungkan juga. Secara psikologis, orang yang sedang lapar dan haus akan cenderung lebih egois dan lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhannya serta mengabaikan orang lain. Sehingga jika orang yang sedang berpuasa dan tetap bersedekah berarti ia telah berhasil mengalahkan egonya. Hal ini akan semakin menambah kadar pahala sedekah, sebab sebuah amalan akan diberi ganjaran berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan amalan tersebut.
Sedekah sesungguhnya tanpa menunggu datangnya Ramadan adalah sebuah amalan yang dapat menambah pundi-pundi pahala dengan cepat. Begitu dahsyatnya sedekah sehingga ia adalah satu-satunya amalan yang secara gamblang dijelaskan ganjarannya secara numeral oleh Al-Qur’an. Di samping itu, Allah memberi jaminan bagi orang yang bersedekah. Terlihat pada QS. (34):39: "… dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya.
Allah memberikan jaminan untuk diyakini bahwa sedekah dan infaq yang dikeluarkan di jalan-Nya tidak akan sia-sia, tidak akan mengurangi harta, bahkan Dia akan memberi pahalan dan ganti yang sudah pasti lebih baik dari dua dimensi, dunia dan akhirat. Mari bersedekah… (S.Rusmin)
*) dimuat di Harian Fajar Edisi 30 Agustus 2010